Senin, 27 April 2009

Quo Vadis Jambur Purpursage?

Tahun ini Universitas Atma Jaya Yogyakarta akan memasuki usianya yang ke 44 tahun. Sebuah usia yang cukup mapan bila dianalogikan sebagai manusia. Dalam usianya yang sudah cukup matang itu UAJY telah menghasilkan ribuan alumni yang tersebar di berbagai pelosok tanah air, bahkan sampai ke manca negara. Termasuk pulalah diantaranya putra-putri terbaik Tanah Karo Simalem yang pernah mengenyam pendidikan disana, dimana sewaktu masih kuliah di UAJY mereka bernaung di dalam sebuah wadah atau perkumpulan alumni/mahasiswa karo UAJY yang bernama Jambur Purpursage.

Mungkin tidak semua alumni/mahasiswa karo mengenal wadah yang bernama Jambur Purpursage ini, walaupun tidak kalah banyak pula yang menggandrunginya. Sebagian yang tidak mengenal ini mungkin disebabkan karena kurangnya informasi, sementara sebagian lagi memang karena kurang perduli. Ketidak perdulian ini juga bisa disebabkan oleh beberapa faktor, dimana salah satunya ialah kurangnya pengertian akan manfaat bergabung di Jambur Purpursage. Celakanya, pendapat seperti inipun ada benarnya juga.

Bertahun-tahun lampau ketika aku masih terdaftar sebagai mahasiswa UAJY aku juga sempat merasakan pergumulan yang sama. Setelah aktif beberapa tahun di Jambur Purpursage (selanjutnya akan kita singkat JPS saja), bahkan sempat menjadi pengurus harian beberapa tahun, aku harus bergumul dengan judul tulisan diatas, quo vadis, mau kemana? Pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Sebagian dari jiwaku, yang idealis dan melankolis, menghendaki agar aku terus berperan aktif di perkumpulan ini. Sementara sebagian lagi yang logis dan pragmatis mengecamnya. Lagi-lagi gugatannya, quo vadis? Mau kemana diriku dengan JPS? Akhirnya, setelah bergulat dengan pikiran-pikiran sendiri, logikapun mengalahkan perasaan romantis, dengan terpaksa aku undur diri dari mengurusi JPS, yang menurut akal sehatku waktu itu, cuma berjalan di tempat.

Tiga tahun berkecimpung di JPS bukanlah waktu yang singkat. Apalagi ketika masih menggebu-gebu, siang malam bisa habis hanya bergelut dengan JPS. Bagaimana tidak? Hampir semua teman terdekatku adalah anggota JPS, orang karo UAJY. Saking asyiknya dengan mereka, aku sampai lupa menjalin persahabatn dengan mahasiswa-mahasiswa dari suku lain. JPS seperti candu, membuatku kehilangan kesadaran sejenak, lupa bahwa Jogjakarta hanyalah kota transit belaka. JPS lah yang membuatku betah di tanah jawa ini, membuatku merasa sangat memiliki Jogja. Menghirup atmosfir ke karo an JPS membuatku (dan beberapa teman lain) bisa kehilangan akal sehat. Salah satu acara tak resmi yang menjerumuskan ku waktu itu (padahal amat menyenangkan) ialah mengeluti joker karo, sebelum akhirnya kiu-kiu dan leng menyusul. Aku dan teman-teman bisa lupa kapan itu siang dan kapan itu malam. Selama kartu masih di tangan dan gelak tawa masih memenuhi ruangan, surga dan neraka bukanlah urusan. Masa bodoh dengan dunia.

Namun jangan salah sangka, JPS bukanlah perkumpulan kriminal. Kebanyakan anak-anak muda yang berada di dalamnya adalah anak baik-baik, sama seperti mahasiswa kebanyakan lainnya. Tidak semua juga menjadi penggemar si Joker dan si Leng atau si Kiu-Kiu. Tapi bahwa banyak diantara kami (para pria) waktu itu menggandrunginya, itu adalah fakta. Mau apalagi? Waktu itu televisi adalah barang mewah. Konon pula komputer. Kalaupun ada yang memilikinya, itu hanyalah satu atau dua orang saja. Dan itupun biasanya menjadi milik serikat, milik bersama. Yang beli boleh satu orang, namun yang merasa memiliki bisa siapa saja. Ha ha ha ha.

Hari-hari lain di JPS kami isi dengan berburu perhatian gadis-gadis. JPS suatu ketika bisa diposisikan seperti biro jodoh, atau klub para jomblo yang kurang percaya diri. Masih teringat dengan jelas bagaimana kami dengan teman-teman bergosip dan bersoal sampai pagi untuk menentukan gadis mana yang paling layak di dekati. Membicarakan cewek-cewek, bertengkar gara-gara berebut perhatian cewek, adalah bunga-bunga kehidupan kami. Cewek-cewek yang dimaksud tentu saja cewek-cewek karo. Entah siapa yang menanamkan ideologinya pada kami, kebanyakan kami waktu itu menilai gadis suku lain kurang berharga bila dibandingkan cewek karo. Ini sering jadi masalah (walau tidak pernah dibahas dalam rapat resmi anggota). Bagaimana tidak? Mahasiswa karo yang merantau ke Jogja waktu itu kebanyakan laki-laki. Jadi wajar saja kalau nilai pasaran cewek karo menjadi agak tinggi. Yang cantik manis pasti dikerubungi seperti manisan dikerubungi semut.

Yang lebih posistif dari JPS ialah PORSENI nya. Pekan Olah Raga dan Seni yang diselenggarakan JPS diikuti oleh perkumpulan mahasiswa karo dari kampus-kampus lain. Sebut saja misalnya, Sialem-alemen UPN Veteran, Si Mulih Karaben Instiper, dan lain-lain. Ajang ini sebenarnya cukup positif untuk mengasah ketrampilan berorganisasi anak-anak JPS. Namun motivasi kebanyakan panitia waktu itu sebenarnya tak jauh dari urusan merebut perhatian cewek-cewek belaka. Dengan jadi panitia, anak-anak JPS punya kesempatan untuk tampil ke panggung sosial orang-orang Karo, bukan hanya di lingkungan UAJY, tapi sudah lintas kampus. Apakah ini dosa? Tentu saja tidak! Hanya saja, apakah motivasi demikian cukup bermutu? Atau “bermotu”?

Banyak lagi sebenarnya acara-acara yang dilakukan anak-anak JPS waktu itu. Namun bisa dibilang warna dan aromanya tidak jauh berbeda. Jalan-jalan, bersenang-senang, ngumpul-ngumpul, makan-makan, kurang lebih begitu lah. Bagi yang kurang pergaulan sepertiku tentu saja ini amat menyenangkan. Bagi orang seperti aku yang kurang lincah bergaul, punya wadah seperti JPS sungguh amat membantu. Dengan latar belakang yang relatif homogen (kan sama-sama orang karo), urusan mengaktualisasikan diri di JPS menjadi relatif lebih mudah dan menyenangkan.

Namun ketika tahun sudah berganti kalender beberapa kali, tiba-tiba aku dikejutkan dengan beberapa kenyataan kurang menyenangkan. Sementara aku sibuk ber JPS ria, teman-temanku yang lain, khususnya yang bukan orang karo, ternyata telah melesat jauh ke depan. Mereka telah mencapai prestasi-prestasi yang selama ini bagiku cuma impian. Tiba-tiba saja aku merasa seperti orang dungu. Kesenangan bergaul yang kunikmati selama ini ternyata harus ditebus dengan harga ketertinggalan prestasi di berbagai lini. Satu-satunya prestasi yang bisa kubanggakan dari kesibukanku ber JPS ria waktu itu hanyalah menjadi pembual nomor wahid. Erbual dalam bahasa karo artinya berbicara, talking-talking. Arti lainnya bisa pula berbohong. Kurasa waktu itu aku menjadi ahli di dalam kedua artinya. Perbual. Bah. Jago ngomong dan jago bohong.

Diam-diam aku mulai cemburu dengan teman-teman yang selama ini menenggelamkan diri dalam kehidupan lain diluar JPS. Aku kagum dengan mereka. Iri dengan prestasi-prestasi mereka. Yang membuatku lebih merasa nyeri di hati ialah kenyataan bahwa teman-teman yang berprestasi itu, menurutku, iq (baca ai kyu) nya tidak lebih berdiri dibandingkan aku. Beberapa teman yang kukenal berprestasi sebenarnya iq nya malah lebih jongkok lagi. Namun kenapa aku bisa tertinggal. Ija kin tadingku e, kata hatiku.

Singkat cerita, tak tahan terus menerus jadi penonton mereka yang berprestasi, akhirnya akupun meninggalkan urusanku di JPS. Tekadku cuma satu. Menjadi orang yang lebih baik. Itu saja. Saat itulah mataku terbuka, JPS (waktu itu) bukanlah kenderaan yang tepat bagiku untuk menjadi orang berprestasi, baik akademik maupun sosial. Terlalu kejamkah aku menilai JPS? Mungkin. Tapi faktanya sampai detik aku meninggalkan kesibukan di JPS, belum pernah seorangpun yang kukenal bisa terorbit dari JPS. Dengan kata lain JPS tidak pernah mengorbitkan siapa-siapa. Suka atau tidak, waktu itu hal itu adalah fakta. Fakta yang tidak menyenangkan. Inconvenient truth.

Lalu apakah tujuan tulisan ini? Seperti judul diatas, aku cuma mau mengingatkan siapa saja yang menjadi anggota JPS, quo vadis? Mau kemana? Yang salah tentu bukan JPS nya, karena JPS hanyalah alat buatan manusia belaka. Yang salah waktu itu ialah aku, yang tidak tahu harus melakukan apa dengan JPS agar impianku jadi orang yang lebih baik bisa tercapai. JPS sendiri sebetulnya sangat baik, sebagai sebuah wadah bagi sekumpulan perantau seperti aku. Tempat dimana aku bisa menemukan teman dan berkesempatan mengenal sedikit cara hidup orang karo yang ternyata tidak seragam itu. Namun sayangnya, JPS saat itu hanya mampu mengantarku sampai disitu. Padahal aku ingin lebih.

Inilah tantangan yang ingin kukemukakan bagi siapa saja anggota JPS yang masih perduli dan masih punya sisa ruang di otak dan hatinya bagi JPS dan adik-adik yang saat ini masih berkecimpung di dalamnya. Apa yang seharusnya dilakukan agar JPS tidak hanya berhenti sebagai wadah penyemai romantisme primordial belaka? Bukankah besar sekali kemungkinan menjadikan JPS sebagai sebuah wahana yang tidak cuma mempertautkan tali batin sesama orang karo UAJY, melainkan lebih dari itu, menjadi wahana yang bisa mengantarkan anak-anak JPS ke orbit masing-masing, menjadi manusia-manusia berprestasi, kebanggan bagi Taneh Karo simalem? Berlebihankan impian ini?

Setelah urusanku juga selesai di UAJY akupun pulang kampung. Disini kembali kesadaranku sebagai anggota JPS tersentak. Taneh Karo simalem seperti seorang ibu yang kurang terurus. Dia memang terlihat gemuk, tapi tidak sehat, apa lagi cantik. Dia seperti nande-nande yang kehabisan tenaga, letih berjuang demi kepentingan anak-anaknya, menyekolahkan mereka, bahkan hingga jauh ke Jogjakarta. Si Nande yang malang, lelah mengurus suami dan anak, namun tak ada yang cukup perduli untuk gantian mengurus dirinya. Dia nampak kuno dan kampungan sekali, sampai anak-anaknya sendiri tidak tertarik untuk mendekat kepadanya. Anak-anaknya yang telah ia sekolahkan? Kebanyakan tidak perduli. Sibuk dengan kehidupan dan karir masing-masing. Tak perduli dengan nandenya. Inilah yang membuat nuraniku sebagi anggota JPS terusik.

Andai saja sekian tahun yang kuhabiskan di JPS dulu kupakai untuk memperhatikan nasib si Nande ini, andai saja aku dan kawan-kawan dulu mau meluangkan waktu sedikit untuk memperdulikan kesehatan si Nande ini, mungkin hari ini aku tidak berhenti hanya sebagai penonton dan pengkritik kehidupan dan nasib si Nande. Nande yang sebetulnya kaya ini, yang hanya diperas dan dieklpoitasi saja oleh suami dan anak-anaknya. Seperti Nande yang punya banyak emas dan berlian, tapi tak bisa mengenakannya sebagai perhiasan untuk mempercantik diri, hanya untuk menjadi alat penghidupan bagi suami dan anaknya. Andai saja waktu itu aku cukup perduli, atau andai saja waktu itu ada yang menggugahku untuk perduli, mungkin keperdulianku itu bisa membantu si Nande dan pada akhirnya membuatku terorbit sebagai orang yang berprestasi.

Bukankah setiap anak-anak JPS disebut putra Karo? Lihatlah nandemu, Tanah Karo simalem itu. Hidupnya hari ini tidak jauh berbeda dibandingkan belasan atau bahkan puluhan tahun yang lalu. Tetap susah. Padahal ia telah memperkaya banyak anak-anaknya. Taneh karo telah memperkaya banyak putra-putrinya. Tapi apakah mereka perduli dengan Taneh Karo? Bagaimana dengan Anda, kawan? Perdulikah Anda? Miris juga melihat kenyataan ini. Sebegitu banyak putra-putri Karo yang kaya dan pintar-pintar, namun kampungnya seperti baru merdeka kemarin. Melihat tanah karo hari ini membuatku teringat akan potensi yang terpendam di Jogja sana. Andai saja putra-putra terbaik itu punya sedikit keperdulian, pikirku. Andai saja waktu yang ada itu tidak dihabiskan semua untuk bersenang-senang saja. Oh, andai saja.

Tulisan ini tidak bermaksud menyamaratakan semua anggota JPS sama seperti aku. Kita semua punya kisah yang berbeda. Banyak dari anda mungkin punya kisah yang lebih baik lagi. Tapi rasanya tak berlebihan pula bila kukatakan bahwa kisahku diatas cukup mewakili sebagian kisah anak JPS. Terlepas dari itu semua, Quo Vadis JPS? Mau kemana kita? Akankah JPS berhenti HANYA sebagai tempat bergaul sesama orang Karo UAJY saja? Atau bisa lebih, menjadi tempat menyemai benih-benih idealisme pembangun negeri, khususnya kampung halaman. Akankah orang-orang Karo, khususnya anggota JPS, cukup puas menjadi penonton bagi mereka-mereka yang berprestasi? Atau anak-anak JPS bisa bangkit kesadarannya dan memperjuangkan sesuatu yang lebih besar demi kemaslahatan kaumnya? JPS bisa menjadi tempat berkumpulnya pecundang atau pejuang, tergantung dari kesadaran anggotanya, anda dan saya. Tanyakan pada orang Karo disebelahmu, quo vadis?

1 komentar:

  1. 888 Casino, Dublin - Mapyro
    888 Casino 광주광역 출장마사지 is a popular casino in Dublin. 춘천 출장마사지 The casino 문경 출장안마 has a large number 광명 출장샵 of slot machines and a wide variety of table games. The casino 구리 출장샵 offers slots

    BalasHapus